Pencuri Yang Insyaf

Alkisah di kerajaan Halethia, hiduplah seorang pencuri yang amat terkenal, Melvin namanya. Dia adalah pencuri yang amat ditakuti karena sering mencuri dari rumah-rumah para bangsawan dan orang-orang kaya. Walaupun yang dicurinya dari tiap rumah hanya satu-dua barang berharga, banyaknya rumah dan kastil yang disatroni olehnya membuat Melvin menjadi penjahat paling dicari di kerajaan itu.

Suatu malam, Melvin sedang mencuri di sebuah kastil saat ia dipergoki oleh anak gadis tuan rumah. Si gadis bangsawan ketakutan dan ingin berteriak, tapi Melvin dengan cepat menutup mulut si gadis dan mengancamnya dengan menempelkan pisau belati di tenggorokan gadis itu.

“Jangan coba-coba berteriak. Saya ini pencuri, tapi saya bukan pembunuh. Kalau kau membiarkan saya lari, saya tidak akan membunuhmu,” bisik Melvin.

Karena ketakutan, si gadis mengangguk tanda setuju. Perlahan-lahan Melvin berjalan menuju jendela kastil, dan saat dia sampai di jendela dia melepaskan gadis itu, lalu menuruni dinding kastil dengan tali yang sudah disiapkannya. Tapi malang baginya, saat sampai di bawah dia sudah dikepung beberapa pengawal bersenjata lengkap. Melvin akhirnya menyerah.

Sebagai pencuri terkenal, Melvin dibawa ke ibukota untuk diadili oleh ratu negeri Halethia, Ratu Urlisse. Saat melihat si pencuri terbelenggu tak berdaya, Sang Ratu dengan heran bertanya, “Melvin Ehlreid, selama ini kamu terkenal sebagai pencuri yang gesit dan tidak pernah tertangkap. Mengapa kali ini kamu bisa ditangkap dengan mudah?”

Dengan suara lemah namun tegas, Melvin menjawab, “Itu karena hamba menaruh belas kasihan pada gadis yang memergoki hamba. Hamba ini memang pencuri, Yang Mulia, tapi hamba tidak pernah membunuh seorangpun.”

Ratu Urlisse menatap Melvin dengan pandangan ragu, lalu bertanya lagi dengan nada menyelidik, “Hmmm... memang benar tidak ada seseorangpun yang kamu bunuh selama ini, dan menurut saya kamu tidak kelihatan seperti pencuri. Lantas mengapa kamu nekad melakukan tindakan yang merugikan hak milik orang lain seperti ini?”

“Ampun, Yang Mulia,” jawab Melvin, “Sebenarnya saya seorang petani, namun masa kekeringan yang panjang ditambah pajak yang sangat tinggi dari tuan tanah menyebabkan desa dan keluarga saya menderita kelaparan, sampai akhirnya ayah dan ibu meninggal. Sejak saat itulah saya nekad mencuri dari para bangsawan yang telah memeras kami, dan membagikan hasilnya pada orang-orang miskin, dan menyisakan sedikit untuk diri saya sendiri untuk melewatkan hari. Itulah satu-satunya hal yang dapat saya lakukan untuk mengubah nasib saya, desa saya dan orang-orang yang menderita di bawah penindasan tuan tanah.”

Sang Ratu tertegun mendengarkan penjelasan Melvin, dan setelah mempertimbangkannya sejenak, akhirnya mengambil keputusan.

“Melvin Ehlreid, kamu terbukti bersalah telah melakukan banyak pencurian dan merugikan orang lain, dan hukuman untuk kejahatan ini adalah hukuman mati.”

Melvin terhenyak. Pikirnya, inilah akhir perjuangannya. Ratu Urlisse melanjutkan, “Namun, setelah memperhatikan dan mempertimbangkan pembelaanmu, saya memutuskan untuk meringankan hukumanmu. Kamu akan diasingkan ke perbatasan dan tidak diizinkan masuk ke ibukota. Dan bilamana kamu kedapatan mencuri lagi atau melakukan kejahatan apapun, hukuman mati mutlak menantimu. Keputusan Ratu Halethia adalah undang-undang tak terbantahkan.”

Raut lega tercermin di wajah Melvin setelah mendengar titah Sang Ratu. Walau dia akan jauh dari ibukota, setidaknya inilah kesempatan baginya untuk menempuh jalan hidup baru yang jauh dari kejahatan dan dunia hitam.

Beberapa tahun sesudah pengadilan itu, Melvin tinggal di perbatasan dan bercocok tanam seperti semula. Untunglah pajak di perbatasan tidak tinggi, hingga Melvin dapat menabung dan membina keluarga. Keinginan untuk mencuri lagi telah dibuangnya jauh-jauh.

Suatu hari Melvin baru pulang dari ladang gandumnya setelah bekerja keras seharian. Tiba-tiba dia melihat sesosok wanita sedang berlari, dikejar oleh seorang pria bertampang kasar dari kejauhan. Wanita itu berbelok dan masuk ke semak-semak rimbun untuk bersembunyi. Melvin lewat di depan semak-semak itu, dan tak lama kemudian si pria bertampang kasar berpapasan dengan Melvin dan menghardik dengan kasar,

“Hey, bung! Apa kamu melihat wanita bertudung lewat di jalan ini?”

Melvin yang terketuk nuraninya untuk menolong mereka yang lemah menjawab dengan tenang, “Ya, tentu saja. Dia pergi ke arah sana,” sambil menunjuk ke ujung jalan di belakangnya.

“Oh, baik. Awas, kalau kamu coba-coba berbohong...” Setelah berkata begitu, si pria kasar menggeser jari telunjuk di depan tenggorokannya dengan isyarat yang berarti ancaman kematian, lalu berlari pergi ke arah yang ditunjuk Melvin. Setelah orang itu sudah cukup jauh, Melvin bicara ke arah semak-semak tempat persembunyian wanita itu.

“Kau bisa keluar sekarang. Keadaan sudah aman. Pengejarmu sudah jauh.”

Si wanita langsung saja keluar dari tempat persembunyiannya dengan masih mengenakan tudung menutupi wajah dengan perasaan was-was kalau-kalau ini jebakan.

“Jangan takut, nona. Saya ini orang baik-baik, seorang petani biasa. Saya tidak akan melukai ataupun menyakiti nona.”

“Ayo kita cepat lari. Tak ada waktu lagi. Cepat, sebelum teman-temannya menyusul!”

Melvin dan si wanita bertudung cepat-cepat berlari keluar dari jalan dan melintas hutan. Melvin mengusulkan sesuatu pada wanita itu, “Nona sembunyi di rumahku saja. Itu akan lebih aman.” Wanita bertudung itu mengangguk tanda setuju.

Setelah lama berlari melintasi hutan, sungai dan pedesaan, tibalah mereka di rumah Melvin. Melvin dan si wanita bertudung disambut dengan heran oleh istri Melvin, yang bertanya, “Pak, apa yang terjadi? Siapa wanita yang bersama bapak ini?”

“Oh, tadi bapak menolong nona ini di jalan karena ada penjahat yang mengejarnya,” jawab Melvin, lalu menjelaskan duduk perkaranya pada istrinya.

“Rupanya begitu,” kata istri Melvin. “Maafkan saya, nona tentu sangat lelah sekarang. Boleh saya tahu siapakah nona ini?”

Wanita bertudung itu lalu membuka tudungnya. Melihat wajah wanita itu, dengan spontan Melvin berteriak tertahan dan langsung berlutut. Katanya, “Yang Mulia Ratu! Terimalah hormat hamba!” Istri Melvin juga terkejut dan cepat-cepat berlutut.

Ratu Urlisse yang ternyata sedang menyamar itu lalu berkata, “Saya ingat sekarang, rupanya kau Melvin. Berdirilah. Sebelumnya saya berterima kasih padamu atas pertolonganmu tadi. Saya sedang dalam perjalanan rahasia untuk meninjau perbatasan saat segerombolan perampok menyerang rombongan kami. Saya terpisah dari rombongan pengawal saya lalu lari menyelamatkan diri. Sayangnya ada seorang perampok yang melihat saya dan mengejar saya. Untunglah saya bertemu Melvin yang menyesatkan perampok itu, hingga saya selamat.”

“Memang sudah kewajiban saya untuk menolong sesama, Yang Mulia,” jawab Melvin.

“Melvin, perbuatan baikmu tadi adalah bukti bahwa kamu sudah benar-benar insyaf dari segala dosamu di masa lalu, dan menjadi manusia baru. Sekarang berlututlah, dengarkan titah Ratu Negeri Halethia. Melvin, mulai saat ini saya membebaskanmu dari segala hukuman, nama baikmu dipulihkan, dan kamu diizinkan masuk ke ibukota. Dan mulai saat ini pula saya mengangkatmu menjadi pejabat tinggi kerajaan yang bertugas mengatur perpajakan baik di pusat maupun daerah. Keputusan Ratu Halethia adalah undang-undang tak terbantahkan.”

Melvin dan istrinya serempak menjawab, “Terima kasih, Yang Mulia Ratu.”

Sejak itulah Melvin dan keluarganya hidup berbahagia di ibukota Kerajaan Halethia sebagai orang-orang kepercayaan Sang Ratu. Nyatalah sudah, bukan aksi sebagai pencuri yang mampu memperbaiki nasib seseorang, tapi orang berbudi luhur dan berjiwa pahlawanlah yang mampu memperbaiki nasibnya, keluarganya, bahkan nasib sebuah bangsa.