Temui Aku di Tepi Pantai
Tepat pukul setengah 5 sore, ia berjanji menemuiku di tepi pantai. Aku datangi pantai itu, tempat yang biasa kami datangi kala senja sedang hangat. Aku menunggu di tepi pantai. Ombak memecah hening dalam kepalaku tapi angin laut seolah berulah, membuat kami senantiasa bisu ketika bertemu.
Setengah jam berlalu. Akhirnya, ia datang, menyapa dengan lambaian, dan senyum yang sangat manis. Aku membalas lambaian dan senyum itu.
Ia berjalan menghampiriku lalu duduk tepat di sampingku. Hatiku berkecamuk seperti ombak di hadapan kami, walaupun sudah lama saling kenal, tapi setiap kali bertemu, mataku seakan tidak siap untuk menatapnya. Rambutnya yang berantakan karena tertiup angin pun tak dapat menutupi kecantikannya.
“Apa kabar?” tanyanya lembut.
“Baik. Kau?” balasku sambil memainkan pasir.
“Seperti pertama kali berjumpa di sini,” katanya dengan suara yang selalu terpahat dalam ingatanku.
Sesaat ketika ia mengatakan itu, aku teringat dua tahun lalu, gadis itu menerima cintaku, tepat di tepi pantai ini. Jawabannya membuatku tak bisa tidur lima hari lima malam. Aku tidak percaya hingga pertanyaan memutar di kepalaku, apa benar ia menerima cintaku? Ah, apa ia hanya main-main denganku? Tidak… tidak… tidak mungkin wanita secantik dirinya mau menerimaku. Tapi, jawabannya bukan omong kosong. Ia menerimaku dengan tulus. Aku tahu dari raut wajahnya yang sangat indah itu selalu terlihat ketulusan untukku.
Seorang yang amat sangat cantik. Bahkan bidadari pun kalah cantik dengannya. Kulit putih bersih, senyum manis yang selalu membuat hatiku berdegup. Semua pemuda di desa sangat suka dengannya, bahkan pemuda dari desa lain rela datang hanya ingin menemuinya. Apalah aku, yang hanya seorang manusia biasa.
Tapi, ia memilihku. Seribu kali pertanyaan ini aku layangkan pada diriku sendiri. Apa benar ia memilihku? Ah, ini benar-benar seperti mimpi, mimpi yang amat sangat panjang.
Dari sekian banyak orang, hanya ia yang memandangku dengan ketulusan. Berani mendekat ke arahku dan meluapkan segala cintanya kepadaku. Sesaat lagi matahari akan terbenam, itu artinya perpisahan akan segara datang dan cinta ini akan segera berakhir untuk hari ini.
Kami lantas berpisah. Menuju peruntungan masing-masing. Setelah ini, ia masih menjadi bidadari yang dikagumi banyak orang dan aku masih menjadi orang yang dipandang hina oleh orang-orang.
Lantas, beberapa hari kemudian ia kembali mengajakku bertemu di tempat itu. Kami menjalin cinta pertama kami sampai hari ini kami duduk kembali di tepi pantai yang sangat indah ini.
Tapi, kembali aku ingat kejadian yang memilukan. Saat itu aku memberanikan diri untuk bertemu orang tuamu. Ayahnya memandangku seperti melihat hewan yang sudah membusuk di sekujur tubuh.
“Ada kepentingan apa kau ke sini?” tegasnya.
“U.. u.. untuk mencari anak bapak,” jawabku dengan terbata-bata.
Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhku. Aku hanya bisa menunduk dan berdiri kaku di hadapan ayahnya.
“Kuperingatkan saja, Nak. Jika kau berani menyentuh dia, tanganmu tidak segan aku potong!”
Dia berkata dengan mata mendelik dan nada yang sangat tinggi.
“Pergilah! Sebelum amarahku ini berada di ambang batas!” lanjutnya.
Aku melangkah pergi, dengan kaki yang gemetar. Aku tersadar, memang tidak pantas untuk orang sepertiku mencintai gadis secantik dirinya.
“Dan satu lagi, jangan pernah kau melangkahkan kaki di rumah ini lagi! Jika saja aku lihat, walau itu hanya tetesan keringat, aku tidak akan segan membunuhmu!” lanjutnya kembali dengan nada yang sangat tinggi.
Kami akhirnya tidak disetujui oleh orang tuanya karena ia anak satu-satunya di keluarganya dan aku hanya orang yang tidak pantas sama sekali bersanding dengannya.
Setelah itu, ia tidak diizinkan untuk keluar dari rumahnya walau hanya sejengkal. Aku menunggunya selalu di tempat biasa, di tepi pantai sembari menunggu senja datang. Tapi ia tidak juga datang. Selama lebih dari dua setengah bulan aku menunggunya di sini. Aku sangat ingin sekali menemui dirinya dan ingin ia tau, aku adalah orang yang sangat tulus mencintainya, mengagumi hal-hal yang melekat di tubuhnya. Bukan seperti orang lain yang hanya memandang dari kecantikan dirinya.
Aku selalu datang ke tepi pantai ini. Berharap ia juga ada di sini, menemani setiap deburan ombak yang siap membawa keindahan dari dasar laut. Keindahan itu tak pernah datang kali ini. Aku lelah sekali menunggu, menunggu seseorang yang sangat aku cintai. Mungkin ia bosan hanya berdiam diri di kamarnya yang sempit itu, aku tahu ia juga sangat ingin bertemu denganku. Kita sama-sama saling memiliki batasan. Ia yang sangat sempurna untuk hal apapun kecuali cinta.
Ah bukan. Ia hanya salah memilih cinta itu. Setidaknya ia tidak memilihku untuk mencintainya terlalu dalam.
Hingga akhirnya aku tidak tahan lagi ingin melamarnya. Jika aku tidak melamarnya lebih cepat, lelaki mana yang akan dijodohkan dengannya? Aku memberanikan diri untuk datang kembali ke rumahnya, walau aku tahu resiko besar yang akan aku hadapi.
Aku menemui ayahnya, dan langsung membawa banten yang aku berikan langsung ke ayahnya. Tapi, ia mengambil beberapa banten lalu dilempar begitu saja ke hadapanku. Banten yang aku peroleh dari jerih payah usahaku, kesana-kemari meminta tanggal baik untuk bisa melamarnya. Tapi hari itu bukanlah tanggal yang baik.
Ayahnya mengambil sebilah pisau dari dapur, pisau yang aku lihat sangatlah tajam. Sepertinya sudah diasah untuk siap menebasku. Ia memandangku dahulu dengan tajam, seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Aku tak bergeming sama sekali. Aku langsung lari menuju pantai itu, tempat biasa kami bertemu dan menjalin cinta yang hangat bagai senja yang sedang larut tenggelam.
Hari itu juga, aku berdiam diri di tepi pantai. Tempat biasa yang selalu kami habiskan dengan cinta yang sangat pekat. Bahkan pasir pun mungkin tak bisa menyamai cinta kami. Tentu saja hatiku terasa sangat terkoyak. Aku berdiam diri dari sore hingga larut malam. Di mana lagi aku mendapatkan cinta setulus dirinya, tapi orang tuanya tidak bisa membiarkan ia bersanding denganku yang memang mempunyai banyak kekurangan.
Akhirnya, aku berjalan menuju laut yang sangat luas dipandang ketika biasanya kami duduk di tepi pantai ini. Di bawah bulan purnama ini, aku berjanji akan selalu mencintainya. Air laut kala itu begitu deras hingga sampai ke bibir pantai. Pura di timur yang sangat megah ikut tersapu ombak. Dengan berbalut kain kamben, aku masuk ke dalam ombak. Tubuhku semakin lama semakin masuk ke dalam laut, kamben yang menutup sebagian tubuhku juga hanyut entah ke mana.
Sepertinya tubuhku terbalut oleh ombak sekarang, hingga terombang-ambing seperti jukung yang siap untuk pergi menjala ikan. Aku tiba-tiba merasakan dirinya memelukku dengan erat, wajahnya yang sangat cantik tersenyum manis ke hadapanku. Ini seperti perpisahan yang sangat manis. Aku akhirnya menemuinya di ambang kematianku.
Cinta ini tak akan binasa oleh ombak ganas, apalagi hanya karena ayahnya tidak merestui cinta kami. Aku selalu ada di tepi pantai ini, menunggunya dan menikmati ombak, angin dan senja hangat yang menemani cinta kami