sungai Nipah
Imah, atau sering dipanggil tetangganya Mak Imah, adalah seorang wanita tua yang sudah menjanda sangat lama. Dia tinggal sendirian di sebuah rumah tua, beratap rumbia, berlantai tanah, berdinding papan di antara beberapa rumah serupa, di lingkungan tempat tinggalnya. Rumah berkamar dua, dan telah mulai keropos dimakan usia. Beberapa atapnya menjulai lapuk karena sering diterpa hembusan angin laut. Bila hujan datang sebagian ruangan bagian depan rumahnya basah. Ia telah melewatkan 63 tahun umurnya, dan sekitar 37 tahun dihabiskan di lingkungannya sekarang, kampung Sungai Nipah.
Sungai Nipah adalah kampung nelayan. Menghadap ke samudera lepas, dilingkup bukit yang mengilinginya, sehingga jika dilihat dari udara, persis seperti teluk dengan dua semenanjung yang menjorok ke laut. Lautnya tenang, namun kadang juga bergelombang besar di saat angin barat datang menerpa teluk Sungai Nipah.
Semenjak menikah dengan Nurdin, seorang pemuda Sungai Nipah, di Teluk Kuantan, Tanah Melayu, kampung kedua orang tuanya, dia merantau mengikuti Nurdin ke Sungai Nipah. Awalnya Nurdin berjualan kaki lima di Pasar Teluk Kuatan, tapi karena tidak ada kemajuan jual beli setelah mereka menikah akhirnya Nurdin pulang kampung dengan membawa Imah.
Di Sungai Nipah mereka hidup sebagai nelayan, mengikuti pekerjaan yang sudah puluhan tahun digeluti oleh keluarga Nurdin. Walau semula Imah ragu dengan kehidupan nelayan yang tidak pernah ia mimpikan, tapi karena cintanya terhadap Nurdin, ia rela meninggalkan kedua orang tuanya dan kebiasaannya becocok tanam.
Semenjak itu dia hidup sebagai keluarga nelayan, hingga melahirkan dua orang anak laki laki. Bercengkerama dengan pasir, ombak, laut, dan hembusan angin pantai telah menjadi kesehariannya. Suka duka kehidupan nelayan dia lalui seiring dengan perubahan garis pantai Sungai Nipah yang makin lama makin menguras tanah-tanah di pinggiran laut. Dia tahu betul sudah beberapa buah rumah yang hilang karena abrasi air laut. Bahkan hamparan pohon kelapa yang menghiasai pantai Sungai Nipah juga sudah hilang ditelan ganasnya abrasi air laut. Sekarang hanya ada urat-urat bekas pohon kelapa dan pohon cemara laut.
Setiap pagi menjelang matahari naik, Imah dengan setia melepas Suaminya ke laut. Siang menjelang suaminya datang biasanya Imah menjemur ikan, sisa ikan kemaren yang tak terjual. Jenis ikan-ikan yang sulit terjual kepada pedagang pengumpul dari Painan seperti bada balang, ikan maco, dan ikan maledang, dijadikan ikan asin yang kemudian dijual pada pedagang pengumpul dari Solok. Sedangkan ikan yang besar-besar dengan cepat laku, karena pada saat pukat di tarik biasanya sudah ditunggu oleh pedagang pengecer di pantai.
Imah tetap senang dan ceria, karena cinta Nurdin yang sungguh-sungguh terhadap Imah dan anak-anak mereka, membuat Imah tak pernah mengeluh atas hasil tangkapan ikan yang diperoleh sehari hari. Bahkan juga tidak ingin balik ke kampungnya di Teluk Kuantan. Kadang banyak ikan yang diperoleh Nurdin, namun pada saat badai hanya beberapa ekor saja. Apalagi kalau badai menjelang pagi, sulit ikan ditangkap. Hingga hari terakhir Nurdin ke laut, mereka hanya sanggup mendirikan rumah kayu sederhana.
Sekarang Mak Imah hidup sendiri. Nurdin telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Kedua anaknya sudah besar, dan pergi merantau ke Pulau Batam. Namun Imah tetap tak mau meninggalkan Sungai Nipah, seperti janjinya dengan almarhum Suaminya, bahwa ia akan tetap setia di Sungai Nipah hingga hayat menjemputnya. Pada hal anak-anaknya sering membujuknya agar Imah menetap bersama mereka di Batam.
Anak-anaknya menyadari kebiasaan adat minang bahwa mereka adalah anak pisang. Bukanlah pemilik atas tanah perumahan yang mereka tempati. Mereka dulu membuat rumah di atas tanah milik orang tua Nurdin atas seizin mamak Nurdin, dengan janji seumur istri Nurdin. Namun keluarga dekat almarhum suaminya, yang disebutnya sebagai induk bako anak-anaknya juga belum ada yang mengusik keberadaan mereka di Sungai Nipah hingga saat ini. Penduduk Sungai Nipah sangat menghargai Mak Imah, karea kebaikan hati Mak Imah, sehingga sampai saat ini tak ada yang menggugat keberadaan Rumah Mak Imah.
Pagi itu, Mak Imah tampak kurus dan ekspresi wajahnya suram, terdapat kerutan kerutan yang dalam di punggung lehernya. Tandanya Mak Imah sudah tua. Di pipinya terdapat bercak bercak berwarna kecoklatan, yang tampak kontras dengan kulitnya yang terang. Bercak bercak itu didapatnya dari pantulan sehari hari sinar matahari di pantai. Bercak itu berjejer menuruni sisi wajahnya yang kurus. Pada telapak tangannya terdapat berkas-berkas gores akibat pekerjaannya menghela pukat bersama tetangganya kaum laki laki setiap hari.
Sebetulnya anak anaknya sudah melarangnya ikut menghela pukat, tapi Mak Imah tetap melakukannya. Kiriman uang dari anak-anaknya lebih dia manfaatkan untuk membantu anak-anak tetangga bersekolah. Dengan menghela pukat, Mak Imah masih merasa tetap kuat dan menikmati kehidupannya.
Suatu kali Mak Imah berkata pada tetangganya, “Aku ingin bekerja menghela pukat hingga nafas terakhir menjemput. Dengan menghela pukat, terasa Nurdin masih melihat ku dari laut”.
Dia ingat betul selalu pesan Nurdin di suatu malam ketika mereka bermain di pantai, “Jika engkau lelah bayangkan sakitmu, jika engkau sakit bayangkan semangatmu, jika semangatmu kendur, mandi lah kelaut. Kau akan kuat lagi.”
Apa pun yang berkaitan dengan Mak Imah terkesan tua, kecuali matanya. Sepasang mata itu masih tajam, cerah, tampak tak terkalahkan oleh tantangan kekerasan hidup yang dilaluinya. Berbekal semangat tak tertandingi, Mak Imah dan kawan kawannya melaut menarik pukat dua kali atau tiga kali sehari, jika hari baik dan tidak ada badai atau hujan.
Pagi itu dia sudah mulai turun ke pantai bersama 10 orang lelaki. Sambil menunggu datangnya perahu pembawa tali pukat yang akan ditarik bersama, Mak Imah bermain-main dengan laut seperti kebiasaannya. Bersenda gurau dengan ombak yang menghempas pantai.
Mak Imah duduk di pantai berselonjor. Telapak kakinya dihadapkan ke arah datangnya ombak, seperti menghalangi lajunya ombak. Mengambil segenggam pasir lalu dilemparkaannya ke laut, semacam olah raga ringan untuk melenturkan otot tangan dan jemarinya. Lalu Mak Imah masuk ke laut, merendamkan kaki hingga sebatas lutut. Dipukul-pukul air laut dengan tangannya. Kadang dengan membalikkan telapak tangannya. Air laut memercak mukanya. Beberapa saat setelah merasa cukup, Mak Imah kembali ke pantai.
Burung-burung laut, yakni burung dara laut dan burung walet terbang melayang menghiasi langit Sungai Nipah. Burung burung itu baru saja meninggalkan sarangnya mencari makan mikroplanton dan ikan kecil yang mengapung. Langit cerah, matahari menyinari hamparan laut memberi energy baru pada semua yang hidup. Biasanya burung itu akan kembali ke sarangnya membawa makanan untuk disuapi kepada anak-anaknya yang menunggu lapar. Dari pantai tanpak burung itu mengihilang dibalik cakrawala, di sebelah Pulau Semangki.
Tiga orang nelayan kelompok Mak Imah pergi mengantar jaring pukat ke tengah laut. Dengan perahu bermesin tempel melaju ke tengah laut hingga beberapa jauh dari pantai. Mereka menebar jaring. Setelah jaring ditebar melingkar pada luas tertentu, tali penarik dijulur ke laut hingga ke pantai agar tidak kusut atau menyangkut pada kayu-kayu dan sampah yang mengapung. Setelah tali diantar kepada penarik pukat yang menunggu di pantai, satu orang nelayan yang bertugas menebar jaring tadi kembali ke tengah laut memantau gerombolan ikan yang tersangkut jaring hingga samai di pantai.
Dengan cekatan kawan kawan Mak Imah menangkap tali dan segera menarik. Mak Imah memasang kain berupa selendang pegangan di pinggangnya, seperti ikat pinggang yang melingkar pada pinggang. Kemudian menarik tali pukat dengan langkah yang kuat ke arah belakang. Badan menghadap ke laut, membelakangi pantai. Kaki menumpu pada pasir. Badan condong ke belakang agar kekuatan tangan menarik tali makin kuat. Berangsur pelan ke belakang. Lima orang di sebelah kiri dan lima orang di sebalah kanan.
Mereka menarik dengan sabar dan penuh talenta dalam irama “satu.......dua.......satu......dua”. Secara bergantian, jika sudah sampai di pantai bagian belakang, bergiliran mereka akan kembali mengambil bagian tali yang di depan. Terus begitu hingga jaring sampai di pinggir.
Menarik pukat tak boleh kencang. Harus pelan pelan dan penuh perasaan agar ikannya tak lari. Atau gerombolan ikan bubar. Dengan keahlian dan kebiasaan yang sudah bertahun tahun Mak Imah tak merasa lelah.
Namun sesekali ketika hujan datang di pagi hari, Mak Imah ingat juga dengan peristiwa berpuluh tahun yang lalu.
Pagi itu 30 tahun yang lalu, Nurdin, suaminya, seperti biasa. Siap pergi ke laut. Dia merupakan nakhodo perahu, yang selalu mendapat tugas menebar jaring. Jika Nurdin menebar jaring jarang yang kusut, dan biasanya selalu banyak ikan yang terjaring pukat. Makanya oleh kelompoknya, selalu Nurdin yang diminta jadi Nakhodo.
Hujan masih turun. Pesisir Sungai Nipah masih dibasahi limpahan air hujan dari bukit. Selokan terisi penuh aliran air menuju laut. Kadang juga guruh berdentum di langit. Awan tebal, tanda akan berhenti hujan belum terlihat. Gelombang pasang juga menerjang kuat. Hempasan ombak merayap jauh hingga ke darat. Sebatang pohon kelapa tak lama lagi akan tumbang karena terus menerus di gerus empasan ombak. Air laut telah menyentuh rumput yang tumbuh jauh dari pantai.
Tanpa mengindahkan larangan kawan kawan anggota kelompoknya, Nurdin berkeras hati sendiri pergi mengantar jaring ke tengah laut. Pada hal, biasanya mengantar jaring selalu bertiga bersama teman-temanya
Dia tidak mempedulikan hujan dan angin yang masih bertiup kencang. “Ndak jauh-jauh. Lagi pula harga ikan pasti mahal di Pasar Painan”, jawab Nurdin ketika kawan kawannya melarangnya.
“Nanti cepat saja ke pantai. Paling aku juga sebentar mengantar jarring,” tambah Nurdin. Kawan kawannya yang lain mengangguk. Nurdin menghilang di balik gundukan pasir.
Nurdin memang rajin dan selalu tekun dalam melaksanakan perkejaannya. Dia ingin sekali mencukupi kebutuhan hariannya. Apalagi setelah anak keduanya lahir 2 tahun yang lalu, dan anak pertamanya yang berumur 8 tahun juga sedang bernafsu makan banyak.
Di tengah gerimis hujan Nurdin menuju perahu. Mendorong perahu sendirian dan menghidupkan mesin tempelnya. Dengan cekatan perahu Nurdin sudah bergerak menembus gelombang yang masih besar. Di tengah laut Teluk Sungai Nipah awan tebal menghalang jarak pandang, hingga tanpa terasa perahu Nurdin hampir mendekati Pulau Semangki Ketek, di depan Teluk Painan.
Hujan makin besar, dan angin badai pun semakin kuat. Gelombang menerjang perahu. Tiba tiba mesin temple perahunya mati, sehingga guncangan gelombang makin menggila dan gerakan perahu tidak dapat dikendalikan dengan alunan dayung. Perahu yang masih bermuatan jaring karena belum sempat ditebar, terasa sangat berat untuk didorong ke tepi dengan dayung seorang diri.
Pada saat Nurdin berusaha merapat ke Pulau Semangki Gadang, tiba–tiba perahunya di hantam gelombang besar, dan seketika perahunya pecah, jaringnya bertebaran. Nurdin terlempar ke laut. Tangannya berusaha menggapai perahu yang telah terisi penuh air laut. Namun arus gelombang makin menjauhkannya dari perahu. Sebagai seorang nelayan yang sudah biasa menghadapi gelombang dan angin badai, dia berusaha mengendalikan diri. Dia berenang sekuat tenaga menuju pantai Pulau Semangki Gadang.
Gelombang makin besar. Angin badai dan hujan lebat seperti menumpahkan air. Di saat Nurdin hampir mencapai pantai Pulau Semangki. Tiba tiba, kepala Nurdin terbentur batu karang. Seketika darah bercucuran dari kepalanya. Dia terus berenang menggapai pantai. Namun gelombang berikut menariknya lagi ke tengah. Tak ada yang dapat menolong. Nurdin kehilangan tenaga, hingga dia tak sadarkan diri. Didorong ombak kian kemari. Tubuhnya dihempaskan lagi oleh terjangan gelombang pada badan perahu. Nyawanya melayang seiring merah darahnya yang makin banyak mewarnai air laut sekitarnya. Tubuhnya yang sudah tidak berdaya dihempas gelombang kian kemari.
Setelah badai berlalu, dan gelombang mereda, kawan kawannya berkumpul di pantai menunggu Nurdin kembali mengantar tali pukat yang akan mereka tarik bersama sama. Sebagian kawan kawannya memandangkan pandangan jauh ke tengah laut. Tak tampak tanda tanda perahu kembali ke pantai. Biasanya tak sampai satu jam perahu Nurdin sudah terlihat kembali ke pantai.
Akhirnya kawan kawannya mulai kuatir atas Nurdin. Beberapa mengambil perahu dan melaju ke tengah laut. Ada tiga perahu yang menyisir laut. Sudah hampir satu jam mereka di laut namun perahu Nurdin belum juga diketemukan. Mereka menyisir Pulau Semangki Besar dan Semangki Kecil. Sianghari menjelang jam12:00 Nurdin di temukan mengambang oleh kawan kawannya di sebelah timur Pulau Semangki Gadang dalam kondisi tidak bernyawa lagi.
Semenjak itu Mak Imah hidup sendiri membesarkan dua orang putranya, yang kini telah dewasa dan merantau. Hingga kini Mak Imah tetap menekuni kehidupannya sebagai nelayan Teluk Sungai Nipah, sebagai wujud cintanya yang abadi kepada Nurdin. Setiap pagi, Mak Imah mengulangi kegiatannya menarik pukat bersama kawan kawan suaminya. Barangkali Mak Imah juga seorang pahlawan kehidupan.