Pasir Putih

Penulis : Nova Margarita Ndun

Hamparan pasir putih memanjang dari timur ke barat, memukau jutaan mata dengan keindahan pesisirnya, pun nuansa hijau pepohonan dengan lingkungan alami yang masih bertahan. Dari kejauhan, tampak pantai Nemberala memanggil- manggil untuk dikunjungi. Oh.. terima kasih Tuhan, ini pulau Rote, tanah tumpah darahku,pulau paling selatan Indonesia. Betapa beruntungnya aku terlahir dan menjadi bagian dari pulau Rote serta  memilih menetap di pulau ini sembari terus menikmati keindahannya.

Libur semester nanti, beta harus ajak be pung kawan  tiga dong pi sana”.

Namaku Nova, anak ketiga dari empat bersaudara. Aku adalah siswi di salah satu SMP di Rote Ndao, tepatnya di SMP Negeri 2 Lobalain. Tempat tinggalku berada di Dusun Takai, Desa Sanggaoen. Rasa syukurku karena berada di tengah-tengah kehidupan keluarga yang selalu membawa ketenangan dan bahagia. Terlebih lagi di lingkungan sekolah, aku memiliki teman –teman yang sangat baik. Sebut saja tiga di anatarnya adalah Feren, Debri dan Yumi.

Pagi itu di hari Senin, orang-orang mulai kembali dengan hiruk pikuk aktivitasnya. Aku bergegas bangun, menata tempat tidur dan bersiap-siap menghadapi hari yang panjang. Bapak terlihat menyeruput kopi panas sambil mendengarkan lagu bolelebo yang dinyanyikan to'o Roni yang sedang menyadap tuak, tidak jauh dari rumah. Suara To’o begitu merdu,terdengar sampai ke dapur. Ibu yang sedang memasak juga ikut bersenandung.

   Sehabis memasak ibu  melanjutkan merawat tanaman kesayangannya, begitupun kakak dan adik yang selalu bersemangat menjalani hari-hari mereka. Gambaran apa yang kami lakukan ini tentu akan diulang-ulang setiap harinya. Tetapi, aku menikmatnya sambil berharap menemukan hari libur dan pergi sejenak menikmatinya.

                “We besong tiga” teriakku pada ke tiga sahabatku  yang sedang berjalan bersama menuju kelas. Mendengar suaraku mereka  berbalik  arah menuju tempatku berdiri.

                 “we selamat pagi ooo Nova, ini pagi lu pu kelihatan bahagia le.. ada kenapa ni o?” tanya Yumi penasaran kepada saya .

                “ Hahaha.. sonde ha, beta mau ajak besong tiga pi pantai yang talalu gaga mati pung.” Jelasku  pada teman- temanku

                  “ Wih… mo pi pante mana? panas- panas begini ni,…, nanti beta tambah hitam kermana suh??” sambung Feren.

                “Amakeh, lu anak Rote baru takut hitam ni sama ke kea sa…” jawab Debri.

“He lu kira beta kea ko. Lu tahu ko sonde? kea tuh yang sama dengan beta ”

“Ha..ha…” kami berempat saling memeluk dan tertawa bersama.

“ Hiiii,, biar ketong senang dan  kea  ju ikut senang …karmana su? ketong pi pante mana ni Nova?” tanya Feren padaku.

 “ Be mo ajak besong pi pante Nemberala. Setuju ko?tanyaku.

“Ko kenapa harus Nemberala?kan ada Pantai Bo’,a,Mulut Seribu, Pantai Dela, pantai…

“Woe, lu ke sonde tahu sa…itu pantai dong jauh-jauh hang…di Rote Barat sana”kataku memotong sebelum Feren melanjutkan.

“ Iya, ketong cari yang paling dekat dari sini sa…”kaya Yumi

“Tapi beta suka pantai yang ada hotel dan fasilitas-fasilitas yang bagus”

” Itu tow, berarti Nemberala sa eee?”kata Feren.

 “Benar teman-teman……Nemberala terkenal dengan pasir putih, laut biru, pecahan ombaknya terkenal sampai seluruh dunia. Di Nemberalla ketong bisa lihat  sunset yang luar biasa menenangkan mata. Lu tahu ko sonde? matahari besar ke nyiru! merah menyala sama ke ada tagae di pohon kelapa. Oh, very-very nice” kataku memberi alasan memilih Nemberala untuk kita bermain selama liburan.

 “ Wihhh.. Nova e.. u pu bahasa pu luar biasa le, su sama ke penyair- penyair sa ni,, hahahahaha “ sambung Yumi sambil tertawa.

“Berarti ketong deal ko?. Nemberala?”

“Oke deal, bungkus..bungkus..”kami pun berhasil bersepakat waktu liburan akan kami habiskan dengan bermain di  pantai kesayangan kami yaitu Pantai Nemberala .

                  Kamipun tersenyum sambil bergegas kembali masuk ke kelas.

                                                                                   ***

Hari ini, matahari pagi seakan membakar jiwa dan semangat kami. Ini hari pertama liburan. Kami telah bersiap-siap dan berjalan menyusuri sepanjang jalan menuju pantai Nemberla. Riang gembira bersama sahabat-sahabat sangat kami mikmati. Kami berjalan sambil bercerita dan sesekali kami menyayikan lagu kesayangan kami Au Nusang Na Nusang Mansuek.

Au nusang na, au daeng na”Debry yang memulai mengangkat nada.

“Au nusang na nusang mansuek” Kami mulai menyanyi bersama.

Kami bernyanyi sambil berjingkrak.

“Losa nae dae dea ita teu,  nusa Lote e mansuek” kataku dengan nada yang meninggi dibandingkan teman-teman yang lain.

Ita  dalek esa-ita dalek esa. Takabua ka’a Fa’di eee” kami pun membesarkan volume suara  kami masing-maing hingga terdengar sangat kompak.  

   “Mai tama hoko takabani… Neu nusa mansuek”

Lagu pun berakhir bertepatan dengan kami pun tiba di tempat tujuan. Pantai Nemberalla.

 Kami takjum dengan pantai yang insah dan kawasan yang sudah dibangun hotel, restorant dan kave. Kami berjalan mendekat arah pintu masuk. Pantai yang menjadi favoritku, seakan-akan ada rindu yang terus bergejolakuntuk kembali kesini, lagi dan lagi.

Begitu banyak tempat-tempat menarik yang dapat dijadikan spot foto bagi orang-orang yang berkunjung ke pantai ini. Sebagian besar lahan di kawasan pantai ini sudah dibeli oleh warga negara asing untuk dibangun resort, cafe dan fasilitas lainnya. Sehingga,untuk masuk kami harus meminta izin dan bisa juga dikenakan biaya dengan harga yang tidak sedikit. Padahal, dulu waktu kami masih kecil dan sebelum lahan di kawasan pantai ini dijual, kami bisa masuk dengan gratis.

“Aku kesini terakhir kali setahun lalu dan cukup banyak perubahan di tempat ini. Di mana yah kira-kira tempat kita mengurus untuk diberi izin masuk ?.” tanya Feren.

Belum juga menemukan jawaban atas pertanyaan Feren, kami melihat seorang laki-laki tampak seperti seorang karyawan atau pegawai, keluar dari salah satu resort. Lelaki itu  berjalan mendekat ke arah kami. “Maaf, ada yang bisa dibantu ?.” Ucapnya.

“Begini Om kami mau masuk ke dalam, tetapi kami bingung harus masuk lewat mana?.” Ucap Feren.

Pegawai tersebut kemudian berkata kepada kami, “Sebelumnya maaf, kalau mau masuk harus bayar dulu.” Ucapnya.

 

“Bayar? Om jangan bercanda. Itu kan laut, pantai tempat kita bermain?”kataku menatap sorot mata karyawan tersebut

“Masa harus bayar? Tambah  Yumi sambil menunjuk pantai yang berada tepat di belakang resto.

“Kalau kami membayar, dimana tempat pembayaran dan berapa yang harus kami bayar? Kataku penasaran ingin tahu jumlah yang harus kami bayar.

 Pegawai tersebut menyebutkan harga yang sontak membuat irama jantung kami seakan  berhenti saat itu juga. Kami yang masih duduk di bangku SMP, diberi uang saku pas-pasan, bahkan kadang tidak punya uang sama sekali ketika mendengar jumlah uang tersebut seketika kami sangat kecewa.

Pegawai tersebut kembali masuk kedalam resort dan kami segera bertanya satu sama lain berapa jumlah uang yang dibawa. Ternyata total uang kami berempat tidak cukup. Kami saling memandang, seolah-olah memberi kode apakah harus kembali pulang atau mencari tempat lain.

Mata kami terus melihat sekeliling untuk memastikan tempat lain yang bisa dikunjungi. Ketika berjalan cukup jauh dari tempat kami mengobrol dengan pegawai resort tadi, aku melihat tempat yang kosong dan cukup luas. Tempat itu masih menjadi bagian dari pantai yang kami kunjungi. Tempat yang kulihat ini benar-benar hanya diisi dengan hamparan pasir putih, bunyi suara ombak yang menyejukan, tanpa ada bangunan yang berdiri di atasnya. Aku mengajak Feren, Debri dan Yumi pergi ke tempat itu. Namanya Pantai Tiang Bendera.

                “Disini juga bagus nih. Hanya kita berempat dan jauh dari keributan dengan pegawai tersebut.” Ucap Debri  mengambil posisi duduk beralaskan pasir putih.

“Betul. Serasa disini lebih tenang dengan hanya mendengar suara ombak. Semoga tidak ada yang menyuruh kita pergi dari sini” Ucap Yumi dengan mengambil posisi duduk tepat disamping Debri.

“Iya, yang kita butuh cuma pantai yang indah dan tenang untuk kita bisa  bermain bersama matahari,karang dan ikan-ikan. Bukan hotel dan restorant”kata ku

“Iya seperti dulu,kita bebas bermain dan berkeling hampir di semua pantai-pantai kita yang indah ini”kata Yumi.

“Iya aku juga rindu kita berlarian di tepi pantai saat liburan begini”

  Feren mengangguk setuju atas apa yang dikatakan aku Yumi dan Debri. Kami menikmati suasana saat itu. Merasakan angin yang membawa kedamaian ditengah-tengah tawa yang terdengar. Kami bergantian mengambil foto.

Saat kami lapar, kami membuka bekal yang kami bawa  yaitu jagung rebus dan gula hopo  dan kamipun makan bersama-sama sambil  menunggu waktu matahari akan terbenam.

Tiba-tiba, saat kami baru saja selesai makan dan sedang duduk santai memandang ke arah laut, seekor anjing muncul di depan kami. Mata kami langsung mengarah pada telinganya yang berdarah. Yumi yang adalah pecinta binatang langsung mendekati anjing tersebut dan meminta tolong Feren mengambilkan tissue didalam tasnya. Yumi membersihkan darah tersebut dengan tissue yang ia bawa.

“Hei, coba lihat ke arah kanan kita. Siapa lagi itu yang berlari tergesa-gesa  kesini ?.” tanya Debri.

Seketika kami langsung merasa takut. Berdiri di depan kami seorang laki-laki asing. Orang Rote buasa menyebut orang asing seprti ini dengan sebutan bule . Postur tubuh yang tegap dan tinggi, tanpa tersenyum telah berada dekat kami. Matanya tampak marah, memandang anjing yang sedang dibersihkan darahnya oleh Yumi.

Kami terkejut ketika mendengar betapa fasihnya dia berbahasa Indonesia.

“Sedang apa kalian disini ? Kalian menyiksa anjing saya ya?Kenapa dia berdarah seperti itu?” bule itu telah berlutut memeluk anjingnya. Dia tampak semakin gusar.

“Kami tidak menyiksa anjing ini. Kami justru sedang menolongnya“ Yumi membantah tuduhan sang bule.

 “Tidakkah tuan tahu, tuan harus sopan pada kami? Walaupun kami anak kecil, kami juga manusia” Ucapku dengan suara yang memberi kesan membalas kemarahannya. Aku ingin bule ini sadar bahwa bukan kami yang membuat ajingnya terluka dan berdarah.

                “Biasanya anjing-anjing manja seperti ini selalu jadi sasatran empuk anjing kampung” kata Debri.

                 Bule itu menatap Debri. “Dia itu anjing jagoanku. Tidak mungkin dikalahkan anjing kampung” Bule it terus saja marah. Dari mulutnya tercium bau alkohol saat dia berbicara keras.

                “Tuan, kalau boleh saya sarankan sebaiknya anjing manja kalau  masuk  kawasan kampung harus beli karcis dulu ..ha ..ha…ha…,, Feren ikut marah namun  melucu.

“Feren, walaupun kamu marah, bicara yang sopan” kataku mengingatkan nasihat oragtua dan guru kami agar selalu bebicara yang sopan dengan sesama sekalipun dengan orang asing.

‘Iya, maaf ya, tuan bule”

Belum sempat sang bule menanggapi, tiba-tiba muncul sekawanan anjing kampong berkari ke arah anjing milik sang bule yang kini sudah berada dalam pangkuan si bule.  Si bule itu sontak terkejut, anjingnya yang terluka dan sudah dibersihkan oleh Yumi iyu kini kembali terluka dan berlumuran darah. Sang Bule itu terpental sambil berteriak

“Help me..help me”

Kami pun ikut terkejut. Rupanya jawaban kami atas pertanyaan siapa penyebab terlukanya anjing sang bule telah  terjawab. Spontan Feren,  Debri Yumi memapah Sang Bule untuk berdiri. Aku sendiri berhasil mengusir anjing-anjing kampung itu. Sang bule heran anjing-anjing kampung itu begutu taat pada kami.

“Itu anjing-anjing milik kalian?”

“Bukan. Semua anjing itu tidak punya tuan”kata Feren.

“Mereka anjing kampong”kata Yumi

“Waktu kami kecil, kami terbiasa bermain lempar bola bersama anjing-anjing  di tepi pantai nemberala”kataku menjelaskan.

Bule itu berhasil duduk di salah satu batu pipih di tepi pantai Tiang Bendera. Kami berdiri di depannya. Dia mengangkat wajahnya dan bertanya.

“Mengapa hanya aku dan anjingku saja yang diserang ya?” Tanya bule itu pada kami.

Kami kompak menggeleng karena kami juga tidak memiliki jawaban atas pertanyaannya.

“Oooooo, saya baru ingat Si Kelly pernah saya perintahkan mengusir anjing-anjing kampung itu saat bermain di tempatku. Tetapi apakah anjing-anjing kampung tadi yang pernah saya usir dulu?”

“Siapa itu Kelly” tanyaku.

“Anjingku tadi namanya Kelly. Bukan anjing manja”kata bule itu masih terdengar memprotes.

 Untuk sesaat bule itu  tidak bertanya lagi. Mungkin dia sudah menemukan jawabannya.

Setelah itu dia menatap kami satu persatu. Beberapa saat kemudian, dengan terbata-bata  dia malah minta maaf dan berterimakasih pada kami.  Kami juga memberanikan diri meminta maaf kepadanya.

 

 

Sang Bule pun  menggendong anjingnya, memberi senyuman dengan wajah yang lebih teduh kepada kami.

“Bagaimana kalau saya mengajak anak-anak bermain di tempatku”

                “Di mana?” tanya kami kompak.

                “Ayok ikut saya akan saya tunjukan. Oya namaku Lucky. Eh, kita belum berkenalan”

Kami pun tersenyum dan memperkenalkan diri pada si bule. Kami memanggilnya Mr. Luke.

Setelah itu kami ikut bergegas mengikuti langkah Mr. Luke.

“Masih jauh?”Tanya Yumi.

“Sudah dekat ne. Lihat…semua kawasan itu milikku? ”

“Ohhh maksudnya kawasan Nemberala itu?”Tanya kami serentak.

Mr. Luke mengangguk dna tersenyum hangat.

“Ohhh itu milik Bapak? Bukan…… laut milik kami. Kami anak-anak Rote pemilik laut itu. Kami sejak kecil bermain di laut itu”

“Ooo ya…? kalian bisa saya ijinkan koq bermain di kawasan pantai milikku”KATA Mr Luke.

“Hei mister.kami tidak perlu meminta ijin atau mendaatkan ijin dari siapapun jika kamu ingin bermaiun dan bersenang-senang di laut kami sendiri’

“Betul sekali, itu laut anak-anak Rote. Sejak kecil itu adalag tempat bermain yang sangat indah  bagi kami anak-anak Rote”

“Jadi apa masalahnya sekarang?” kata  Mr Luke seakan tidak    memahami maksud kami.

“Ada masalah Mister  Luke. Tadi kami diusir oleh oleh salah seorang pegawaimu saat kami hendak bermian di pantai”teriak Feren

“Kami harus membayar mahal untuk pantai tempat bermain kami”tegasku.

“Sekarang kalian bisa bermain bahkan bisa makan dan minum di restorant dan bisa beristrahat di hotel. Saya yang megatakannya. Percayalah….

“Hotel dan restorant memang miik para pebisnis pariwisaya namun laut dan pantai tetap milik kami, tempat bermian kami. Kami tidak butuh hotrl dan restorant kami menginginkan mister Luke  mengembalikan pantai dan laut,matahari,karang dan pasir putih tempat bermain kami itu. 

“Anak-anak yang manis. Sudah saya katakana saya mengisinkan kalian bermain di sini. Apalah kalian tidak paham?”

“Sidah kami katakan kami tidak membutuhkan ijin dari siapapun saat kami ingin bermian di laut dan pantai milik kami. Apakah mister tidak paham?” kataku tegas untuk kesekian kalinya.

“Lantas apa masalahnya?”

“Masalahnya, kenyataannya laut dan pantai kamu dijuala dengan karcis kami harus membayar mahal untuk temoat bermaun kami”

Mister Luke tertawa.

Suaranya terdengar memanggil seseorang.

“Daniel…ayook ke sini”

Tiba-tiba si pegawai yang tadinya meminta kami membayar karcis masuk tampak tergesa-gesa menghadap mister Luke.

“Dengar baik-baik Daniel. Di hadapan para bocah ini, saya mencabut larangan saya. Mulai sekarang mereka bebas bermain di laut dan pantai milik mereka ini”

“Nah, ini baru benar” kami pun berteriak gembira. Kami pun berkari menuju laut kami,pantai kami, hamparan pasir putih yang membentang dari timur ke barat, jejeran pohon kelapa yag tumbuh merendah nan indah, sejuk udara pantai yang menyehatkan,  yang semua itu  hampir saja terjual dan dibeli oleh kami sendiri. Ya, hanpir saja kami membeli  tempat kami bermain yang sejak kecil dalam kandungan ibu telah kami miliki.