Di Pantai Yang Melupakan
Oleh: GREGORIUS AFIOMA
Jika kau duduk di pantai itu, waktu terasa berhenti. Kau bisa menikmati percakapan dengan temanmu hingga melupakan waktu. Dari pagi kau bisa duduk, matamu tak lepas memandangi laut yang tenang di hadapanmu, sambil menikmati percakapanmu dengan temanmu.
Lalu di sore hari kau menikmati cahaya kuning keemasan dari matahari di batas cakrawala. Di mana-mana sunset memang indah, tapi kau merasakan sesuatu yang berbeda ketika melihat sunset di pantai itu.
Ketika malam menjemput, mungkin kau ingin tetap berjaga di sana dan menikmati kebersamaan dan mengabadikan kematian waktu, tetapi temanmu menolak, barangkali, dan perlahan-lahan kau akan mengalami dan merasakan waktu.
Kau tahu bahwa semenit setelah berpisah dengan teman-temanmu dari tempat itu, kau merasakan waktu yang berjalan lamban. Semenit pun kau rasakan seperti tengah menanti seorang di sebuah bandara dimana tiap detikpun kau sadari. Dan karenanya wajar saja kau bersedih atas perpisahan itu dimana kau mulai merasakan kejamnya waktu.
Engkau bahkan lebih menikmatinya tatkala berjalan dengan kekasihmu. Ketika kau berbicara, pantai itu seolah paling mengerti melebihi pengertian yang diberikan teman-teman dan keluargamu sendiri. Pepohonan seakan berhenti bergerak kecuali menghembuskan keademan yang kamu perlukan. Laut pun tenang tak mengeluarkan riak-riak kecil. Pasir putih yang memancarkan cahaya keemasan dan bebatuan di pantai itu seakan melupakan kehadiran kalian hingga kau bebas mengekpresikan rasa cintamu tanpa malu-malu.
Aku pernah mengatakan kepada kekasihku, “Aku mencintaimu sayang!” Aku hampir saja tak percaya aku bisa berbicara demikian. Kau barangkali tidak tahu bahwa di tempat lain di manapun, setiap kali aku menemui gadis gebetanku itu, aku sudah seringkali mencoba berkata demikian. Tapi aku gagal. Kepalaku dikecamuk oleh banyak pemikiran dan strategi, lalu gagal hanya karena takut.
Tidak demikian di pantai ini. Aku nyaman mengungkapkannya, bahkan tanpa direncanakan sekalipun.
Dan betapa kagetnya aku ketika perempuan itu menatapku. Ia melemparkan senyuman yang paling manis yang pernah kulihat. Tanpa di-zoom sebagaimana foto di media sosial, aku masih bisa melihat dan mengingat tiap guratan senyum di wajahnya. Kecuali guratan di dahinya yang tak tampak saat itu. Barangkali ia tidak ingin meragukan, apalagi mulai berpikir-pikir tentang ketulusan ungkapanku itu. Dari mata cengkungnya, ia menarikku dengan daya magis yang di luar kendaliku. Secepat kilat, aku mendaratkan sebuah kecupan di keningnya. Ia menjadi tampak malu-malu dan mulai mengelus-elus ujung rambutnya.
Di pantai itulah, aku mulai percaya bahwa saat kau jatuh cinta, hanya di pantai itu aku sepakat bahwa dunia menjadi milik berdua. Aku tidak perlu merasa tergesa-gesa apalagi takut dengan semua tuntutan di tempat kerjaku, di lingkungan sekolah atau kampus, dari orang tua dan teman-temanku. Aku melupakan semuanya untuk beberapa saat dan hanya menaruh perhatian kepada kekasihku itu, berbicara dari hati ke hati.
Toh kalaupun kau pergi sendiri ke pantai itu, kau langsung sepakat bahwa kebahagiaan ialah ketika kau tidak menyadari waktu. Kau menikmati kesendirianmu di bawah rindangan pepohonan, merasakan tiupan angin yang sejuk, dan tanpa dialaspun kau tak segan untuk duduk di atas pasir karena saat kau berdiri, pasir-pasir itu gugur dengan sendirinya seolah tak ingin menyibukkanmu jika harus mengibas celanamu.
Dan tentu yang paling kau ingat, saat kau duduk di sana sendirian, alam seolah-olah menghalangi masa lalu dan masa depan menyinggahi pikiranmu hingga kau benar-benar menikmati keberadaanmu saat itu saja.
Sebetulnya tak ada yang istimewa dengan pantai itu kalau bukan karena sepasang suami-istri orang kaya. Betapa tidak, di pantai itu tidak lebih dari pepohonan, pasir yang tersebar sepanjang pantai, dan laut yang tenang. Kalaupun pantainya landai, toh ada banyak pantai yang lebih landai dan indah di beberapa bibir pantai di dunia ini.
Dulu ada sepasang suami-isteri kaya yang hendak bercerai. Meski telah memiliki tiga orang anak yang sudah beranjak dewasa, nasib pernikahan suami yang pebisnis terkenal itu dan isteri yang menjadi dosen ternama berada di ujung tanduk.
Entah mengapa, di setiap perjumpaan di rumah dalam waktu yang terbatas karena kesibukan pekerjaan masing-masing, keduanya lebih menghabiskan waktu dengan pertengkaran atas hal-hal kecil. Bosan dan jenuh seakan tak bisa dibendung lagi.
Lalu pada suatu siang di masa-masa genting hubungan tersebut, keduanya melintasi jalan raya di dekat pantai itu. Tak tahu alasannya apa, suaminya tiba-tiba terpesona dengan pemandangan di pantai itu.
Dengan rendah hati, ia mengajak isterinya singgah sebentar. Keajaiban pun terjadi. Keduanya seolah melupakan semua persoalan mereka. Rencana perceraian pun tiba-tiba saja menguap begitu saja. Semacam ada misteri yang menyebabkan keretakan rumah tangga mereka selama ini, terungkap di tempat itu. Lalu mereka pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri.
Cerita tentang itu tersebar luas dengan cepat. Lalu mulai pula terdengar sebuah mitos yang dipercaya semua orang. Konon, pantai di laut itu pernah terjadi pernikahan anak dewa dari kayangan. Maka di tempat itulah segala bentuk cinta menjadi kembali murni dan dimurnikan.
Seiring tersebarnya kisah tersebut, semakin banyak pasangan dan keluarga yang mengunjungi tempat itu, sekadar melupakan kesibukan mereka dan mengeratkan tali pernikahan dan keluarga masing-masing.
Keajaiban dari pantai itu selanjutnya memikat para banyak orang, anak-anak, remaja, orang tua entah dengan tujuan apapun. Walaupun sudah ramai, tetapi masing-masing orang tetap merasakan bahwa pantai itu membuat mereka bisa melupakan waktu sejenak, menikmati kekinian dengan sangat intim dalam kedalaman hati.
Saking bertambahnya pengunjung, mulai didirikan beberapa rumah penginapan. Suami isteri yang kaya tadi membangun sebuah hotel sederhana di sekitar pantai itu. Beberapa tahun kemudian, banyak hotel yang dibangun. Karyawan yang bekerja di hotel-hotel tersebut, setelah melakukan pekerjaannya mendatangi pantai itu untuk melepaskan penatnya dan seolah menimba semangat baru. Barangkali juga alasan karena pantai itu satu-satunya tempat yang tak harus dibayar untuk dikunjungi.
Akan tetapi, tibalah suatu hari, dimana seorang pengusaha ingin membeli pantai itu. Tak ada yang tahu alasannya, apakah ia tertarik karena di tengah kesibukannya ia pernah bepergian ke sana dan menikmati kedamaian yang ditawarkan hingga ia ingin memilikinya secara pribadi ataukah ia ingin meraup keuntungan dari tempat itu dengan insting bisnis yang ia miliki.
Yang jelas, ia sudah menghasut pemerintah setempat untuk memberikannya ijin untuk memiliki pantai itu.
Engkau mesti tahu, saat ini aku tengah memprotes usaha tersebut. Bagaimana mungkin, tempat terindah yang pernah aku kunjungi dimana aku dan mungkin kau bisa melupakan waktu kesibukan kita di tempat kerja dirampas begitu saja? Bukankah kita harus bersikeras memprotes para pembunuh kenangan indah di tempat itu? Bagaimana mungkin kedamaian yang dicuri dari surga di tempat itu menjadi hanya dimiliki oleh seseorang?
Kalau saja demi uang kita memprotes sudah barang tentu kita sudah disodorkan dengan segelontor uang. Tentu ini bukan demi uang.
Payahnya, kau tahu, saat kita–andaikata kau mau– memprotes, kita berhadapan dengan orang yang tak memahami momen waktu yang terhenti. Maka jawaban yang mereka buat bisa kau mengerti, tapi alasanmu untuk protes tak mereka pahami.
“Ini diperbolehkan undang-undang”
“Demi pembangunan. Devisa kita akan bertambah. Lapangan kerja akan semakin luas.”
“Jangan takut! masih ada mekanisme yang dibuat untuk semua warga di sini.”
Kau harus tahu, yang berbicara itu ialah orang-orang sehari-harinya sejak bangun di pagi hari sudah dikawal orang-orang pilihan. Di kantor ia dikerumuni oleh sejumlah agenda rapat dan tugas-tugas kantor. Teman-temannya bukanlah rakyat biasa tetapi sesama pejabat dan para pebisnis kelas elite. Kesibukannya tak memungkinkan ia memahami apa yang aku sebut dengan waktu yang terhenti saat duduk di pantai itu. Pun alam pikirannya tak bisa lepas dari uang dan kuasa.
Saat ini aku berharap padamu, jika kau tahu apa artinya kenangan di pantai yang bisa melupakan waktu, kau harus memberi suaramu untuk ikut membesarkan suaraku saat kenanganku hampir terbunuh, kawan!